MEMBACA SITUASI UNTUK MEMERANGI PANDEMIC

By on Selasa, 12 Mei 2020


Untuk menyelesaikan penelitian dan analisis sederhana ini, saya hanya akan memfokuskan bahasannya dalam satu lingkup wilayah kecamatan. Walaupun kesannya sangat sederhana karna hanya mengambil satu sampel, namun contoh kasus dalam bahasan ini dapat dijadikan ukuran serta pembanding untuk daerah-daerah lain. Bentuk kerangka dalam pandangan ini dapat menjadi salah satu contoh acuan berpikir masyarakat untuk mampu meyelaraskan serta membanding-bandingkan secara perlu pada masing-masing realitas di tiap-tiap daerah.
Pertama-tama, saya akan memperkenalkan secara singkat objek orientasi yang akan dibahas, yakni kecamatan tempat saya lahir dan mengurung diri beberapa bulan ini. Kec. Malunda, Kab. Majene, Prov. Sulawesi barat.
Kabupaten Majene adalah salah satu dari 6 kabupaten di Prov. Sulawesi barat, yang terdiri atas 8 kecamatan, salah satunya adalah Kec. Malunda, tepat sebagai wilayah perbatasan ibukota provinsi (Kab. Mamuju). Kec. Malunda terdiri atas 2 wilayah administrasi kelurahan dan 10 desa dengan total luas 187,65 km2 atau sekitar 19,79% dari total luas kabupaten Majene. Kawasan produksi pangan wilayah ini cukup luas untuk ukuran kecamatan. Misalnya dalam tingkat panen komoditas padi sawah pada tahun 2018 seluas 1.100 hektar kurang lebih sebanyak 5.600 ton, komoditas padi ladang seluas 400 hektar sebanyak 2.000 ton, komoditas jagung seluas 280 hektar sebanyak 1.400 ton, komoditas kelapa sebanyak 3.075 ton dan 3.010 ton untuk kakao. Selain itu, tanaman hortikultura juga termasuk, tapi kuantitas produksinya tergolong sedikit. Untuk peternakan kambing dan sapi masing masing berada dalam tataran jumlah 4.714 dan 3.570 ekor. Hasil pada sektor perikanan kurang lebih 105 ton (2018). Sedangkan untuk kawasan hutan lindung dan hutan produksi masing-masing dengan luas 11.497,37 dan 4.284 hektar.
Merujuk data Sensus Penduduk yang disurvei dekade terakhir, proyeksi penduduk untuk kecamatan ini sebanyak 19.051 jiwa, kepadatan penduduknya mencapai 102 jiwa/km2 dengan rata-rata jumlah penduduk per rumah tangga 5 orang, dan dengan 4.441 jumlah rumah tangga. Untuk sektor pangan, jumlah petani sebanyak 3.514 orang, dan 1.964 nelayan. Malunda juga mempunyai beberapa industri manufaktur walaupun terkisar sangat rendah, hanya 21 unit usaha kecil dan dengan jumlah tenaga kerja 71 orang. Kepariwisataan menggandeng 14 tenaga kerja, 248 pegawai tersebar di instansi-instansi, dan persebaran profesi guru diberbagai sekolah sebanyak 475 guru.
Selanjutnya kita akan membahas hal yang lebih serius, khususnya dengan situasi dunia yang sedang tidak pasti akibat pandemic Covid-19, untung rugi negara (Indonesia) akibat pandemic beserta gejala-gejala sosial yang muncul sebagai respon atas pandemic. Bahasan selanjutnya akan berusaha menyambung-nyambungkan secara logis dan realistis antara pandemic dengan peran kecamatan Malunda sebagai sampel pembahasan.

Bahasan serius ini kita mulai dengan berprasangka atau mencurigai terlebih dahulu. Tentunya kita tidak asing lagi dengan pertanyaan tentang asal-usul atau bahkan siapa yang membuat pandemic Covid-19 ini bisa terjadi (?) Jangan-jangan ini adalah by design. Tapi siapa, dan untuk apa? Pertanyaan ini antara penting dan tidak penting, karna yang paling penting adalah bagaimana cara kita bisa melewati masa-masa sulit seperti ini?
Pandemic ini telah banyak memakan korban jiwa menurut datanya, seburuk apapun keadaannya, yang jelas pemerintah Indonesia telah menetapkan perkiraan defisit anggaran sebanyak Rp 852,93 triliun, ini adalah nominal defisit terparah sepanjang sejarah Indonesia. Pemerintah juga telah menargetkan pembiayaan utang tahun ini kepada lembaga keuangan dunia baik itu IMF atau World Bank akan mencapai Rp 1.439,8 triliun. Untuk pembiayaan utang tersebut sebagian besar dipenuhi melalui penerbitan SBN (Surat Berharga Negara). Dalam artian, negara akan membayari utangnya dengan cara mencari utang baru. Penerbitan SBN tidak dilakukan melalui seri khusus (pandemic bond), namun sebaliknya (umum), yaitu baik melalui lelang ritel maupun private placement, baik dalam dan/atau luar negeri. Kembali ke pertanyaan tidak penting tadi, untuk coba menjawabnya, kita perlu mencari tau siapa yang berkepentingan atau memperoleh keuntungan dibaliknya. Dimasa-masa sulit sekarang ini, bisa kita asumsikan bahwa tidak ada negara yang mampu meraup akumulasi keuntungan secara materil, ini bukan soal pertentangan antar negara-negara. Dalam penerbitan SBN yang modelnya keseluruhan tadi, korporasi nasional atau transnasional yang akan punya untung banyak, para pemilik modal tersebut bakal memperoleh penghasilan tetap atas pembayaran-pembayaran bunga penerbitan SBN, sementara sekian banyak manusia yang lain didunia kehilangan pendapatan karna pandemic. Terlebih lagi jika transaksi pembayaran utang tidak lancar, maka pemilik modal atau kreditur tadi dapat menjual SBN itu dengan harga yang lebih tinggi dari nominal utang negara debitur sebelumnya. Ini hanya satu perspektif yang tidak begitu kuat, para pembaca silahkan mencobanya dengan perspektif lain.
Persebaran wabah ini telah menjangkiti seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya jangkitan atas penyakit fisik, namun juga pikiran masyarakat yang begitu paranoid, sehingga masyarakat memunculkan respon-respon yang kadang-kadang jauh dari kesesuaian dan cenderung tidak perlu.
Dengan berhentinya beberapa sektor kerja menyebabkan tingkat PHK yang sangat tinggi. Maka dari itu, sebagai upaya dini pengstabilan situasi ekonomi negara yang ambruk, negara menyalurkan subsidi secara besar-besaran baik itu langsung tunai atau sembako, dan perkiraan skala besarannya bisa kita amati lewat tingkat utang yang kita bahas sebelumnya, karna tidak lain penyaluran subsidi berskala besar ini menjadikan penerbitan SBN baik itu pandemic bond atau SBN secara keseluruhan juga ikut membesar.
Ada poin yang sebenarnya cukup dilema atas situasi ini, yakni soal subsidi dan penyelenggaraannya di tiap-tiap kota dan desa. Subsidi atau bantuan-bantuan sosial merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Namun, bantuan-bantuan sosial ini akan menjadi boomerang bagi kita semua jika tidak memerhatikan hal-hal penting sebagai rujukan yang bisa dipedomani untuk melangsungkan bantuan. Bantuan berupa langsung tunai dan sembako tersebut harus mampu diporsikan atau diselaraskan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kita akan melakukan pemetaan sederhana antara kota sebagai kawasan produksi industrial dan desa sebagai kawasan produksi pangan. Kota merupakan kawasan yang cenderung padat dan sebagai pencipta lapangan kerja untuk tenaga kerja upahan, sedangkan desa merupakan kawasan yang cenderung tidak padat dan didominasi atas sektor kerja non-industrial, desa juga diandalkan sebagai pemasok kebutuhan pokok dan bahan mentah. Kita bisa asumsikan bahwa kota dan desa mempunyai relasi yang tetap dan bergantung satu sama lain tapi dengan fungsi yang sangat berbeda. Kota dengan penduduknya yang padat berpotensi besar mengalami persebaran virus yang begitu cepat karna aktivitas ekonomi masyarakatnya misalnya dalam pabrik atau perusahaan memakai model pembagian kerja sebagai produktivitas, satu perusahaan mampu menampung puluhan hingga ratusan tenaga kerja sekaligus. Maka dari itu, adanya pandemic wabah virus seperti sekarang ini menjadikan kota dilanda malapetaka, akibatnya adalah produksi berhenti dan selanjutnya PHK massal. Instansi-instansi dan toko-toko besar dikota kurang lebih akan bernasib sama. Sedangkan desa dengan penduduknya yang tidak padat, potensi persebaran virusnya tidak se-akut dikota, misalnya dalam sektor produksinya kebanyakan masih memakai cara kerja tradisional. Petani hanya akan berkontak fisik dengan petani lain pada saat disawah jika sedang istirahat dan butuh teman cerita. Maka, adanya wabah virus seperti ini tidak akan membuat orang di desa-desa kehilangan akses pekerjaannya, petani akan tetap kesawah dan kekebun seperti biasa, dan nelayan akan tetap melaut seperti biasa. Untuk instansi dan toko besar didesa tidak seberapa jumlahnya, berbeda dengan kota.
Kalau kita jadikan Kec. Malunda dengan desa-desanya sebagai sampel, maka lagi-lagi kita harus menyelaraskan bagaimana sebenarnya Malunda dengan subsidi apa yang cocok untuknya.
Malunda adalah salah satu kecamatan yang menggembar-gemborkan subsidi ala-ala kota, yakni pembagian sembako dan BLT. Misalnya dalam pembagian sembako, komoditas beras, apakah membagikan beras pada kecamatan yang sektor kerjanya didominasi petani itu logis dan realistis? Para pembaca bisa fokus kembali pada jumlah keseluruhan petani dengan membadingkan sektor kerja selain petani di kecamatan ini sebelum menjawabnya. Lagi pula, orang-orang dikecamatan ini punya kebiasaan seperti pada bulan Ramadhan khusus para petani yang punya lahan garapan sawah yang lumayan banyak melakukan pembagian sekantong beras untuk tetangga dan kerabat-kerabatnya.
Kita akan bahas tingkat kelebihan beras (surplus) di kecamatan yang kita jadikan sampel. (1) Jumlah panen padi sawahnya sebanyak 5.630 ton atau sebanyak 5.630.000 kg dan kalau kita konversi kedalam beras yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tentang hasil survei penggilingan gabah menjadi beras ditetapkan dengan persentase 63,20%, maka menjadi 3.558.160 kg beras. (2) jumlah rumah tangga sebanyak 4.441. (3) rata-rata 5 orang per rumah tangga. Jika masing-masing rumah tangga dalam sehari menghabiskan 1 kg beras per hari, maka dari 4.441 rumah tangga mengabiskan 4.441 kg/hari, perbulan menghabiskan 133,230 kg, dan berarti konsumsi beras rumah tangga di kecamatan Malunda hanya mencapai kurang lebih 1.598,760 kg/tahun. Jadi, jika hasil produksinya dikurangi konsumsi, Kec. Malunda masih memiliki surplus sebanyak 1.959.400 kg/tahun, surplus tersebut yang akan digiring kepasar, baik itu melalui distributor atau tanpa distributor. Situasi dan semua hitung-hitungan ini berbeda dengan kota, kota memang sangat butuh subsidi sembako.
Selanjutnya adalah BLT, kita hanya perlu memerhatikan kembali masing-masing tingkat PHK atau orang-orang yang kehilangan pekerjaan selama pandemic antara kota dan desa. PHK besar-besaran adalah konsekuensi logis dari persebaran wabah virus, namun tidak semua wilayah mengalaminya, sesuai dengan pemetaan-pemetaan tadi. Selain itu kita perlu memerhatikan tingkat surplus hasil produksi pangan didesa yang dimana itu akan menjadi komoditas yang akan dipasarkan sehingga itu dijadikan sebagai pendapatan bagi para petani untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Kalau kita contohkan dengan tingkat rendah saja, semisal satu petani menghasilkan 2.000 kg beras per tahun, dengan konsumsi beras satu rumah tangga sebanyak 360 kg/tahun, maka dalam satu tahun satu petani itu memperoleh kelebihan 1.640 kg/tahun, jadi dengan harga Rp 9.000/kg beras dikalikan dengan kelebihannya menghasilkan sejumlah pendapatan sebanyak Rp 14.760.000/tahun, jika dibagi dalam perbulannya sebanyak Rp 1.230.000/bulan (tanpa membeli beras lagi). Sedangkan perhatian terakhir adalah mengenai tingkat kemiskinan. Malunda mempunyai tingkat keluarga miskin sebanyak 271. Tolak ukur atau kriteria miskin dalam tingkat pendapatan per bulan adalah Rp.600.000, itu sesuai versi Badan Pusat Statistik (BPS).
Pendapat-pendapat tadi tidak sama sekali menekankan bahwa kecamatan ini tidak membutuhkan subsidi sama sekali, tapi kita hanya perlu betul-betul menyesuaikan semua respon atas situasi pandemic dengan logis dan realistis, karna jika tidak, maka semua subsidi yang “kemungkinan” tidak betul-betul sesuai menjadi sia-sia dan justru akan berimbas pada situasi setelah pandemic yang begitu parah bagi negara karna banyaknya peneribatan Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Negara (SBN). Negara sebenarnya menyalurkan subsidi dengan capaian menjaga daya beli masyarakat atas kejadian yang menimpa para tenaga kerja yang di PHK, yang lebih banyak terjadi dikota-kota. Semua masyarakat harusnya tidak gampang terpengaruh oleh respon-respon atas pandemic ini didaerah yang berbeda, atau bahkan memaksakan untuk meyerupai respon-respon tersebut untuk diratakan dan disamakan.
Sekali lagi, bahwa sebenarnya semua dalam keadaan membutuhkan bantuan, Malunda pun butuh. Semua daerah harusnya memanfaatkan otonominya untuk menyelaraskan antara kondisi daerah dan bantuan apa yang diperlukan, bukan langsung mengikuti respon-respon daerah lain.
Kecamatan Malunda (sampel) dengan sektor kerja yang lebih banyak petani dan nelayan dengan pengamatan atas situasi pandemic yang jelas telah menggangu pasokan untuk pasar. Misalnya untuk produksi pangan yang bergantung dengan usaha lain, contohnya adalah petani jagung yang bergantung pada usaha peternakan, dalam situasi seperti sekarang ini tidak menutup kemungkinan akan membuat banyak usaha peternakan yang terganggu atau bahkan berhenti, dan/atau tempat distribusi jagung selain peternakan lainnya. Jika itu betul terjadi maka harga jagung turun dan petani jagung akan rugi. Untuk mengantisipasi kerugian tersebut, masing-masing instansi kedaerahan yang memiliki kepentingan atas itu untuk menyalurkan bantuannya berupa stabilisasi harga panen jagung. Dan misalkan Untuk penggarap sawah dan pelaut, penyaluran bantuannya harusnya berorientasi atas produktivitas sektoralnya. Pupuk, alat kerja pertanian, atau bahkan perluasan lahan garapan baru untuk “produksi komoditas lain” dapat menjadi contoh usulan penyaluran bantuan. Subsidi bahan bakar untuk nelayan juga mampu menunjang produktivitas disektor perikanan, atau bahkan bantuan pembuatan kapal-kapal nelayan yang baru. Paling tidak dalam tingkat PHK yang sangat tinggi dan jika kebetulan korban-korban PHK-nya banyak yang brasal dari desa-desa seperti Kec. Malunda, perluasan lahan garapan dan bantuan pembuatan kapal nelayan bisa menutupi tingkat pengangguran yang membengkak setelah PHK massal, karna kalau dihitung-hitung, apabila tingkat tenaga kerja yang di PHK dan dirumahkan mencapai angka 2,8 juta, dan jika dijumlahkan dengan tingkat pengangguran sebelumnya sebanyak 7 juta, ditambahkan lagi 2 juta angkatan kerja baru per tahun, maka kurang lebih 11,8 juta orang yang sedang betul-betul bersandar pada bantuan yang berorientasi tepat atau realistis diseluruh Indonesia dengan capaian pemulihan ekonomi. Subsidi harus bersifat membangun dan menguntungkan bagi negara dan seluruh warga negaranya, maka dari itu perang melawan pandemic telah dimulai.

PENULIS;
Muhlis Mustaman
-Sekretaris Jendral Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Kota Makassar
-Koordinator Departemen Advokasi Dewan Pengurus Pusat Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Indonesia Mandar Majene (DPP IPPMIMM)
-Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

8 + eighteen =