NASIONALISASI FREEPORT TANPA SYARAT INDONESIA BERDAULAT,PAPUA SEJAHTERA

By on Kamis, 10 Desember 2015

Penyataan FPPI
Revolusi bukan dalam pengertian sebagai ritus pemberhalaan sejarah para ideolog atau politikus besar yang telah membacakan diri di hadapan ingatan pengetahuan manusia modern. Setidaknya itu cukup menjabarkan singkat soal cita-cita yang harus dikongkritkan.

17 tahun Front Perjuangan Pemuda Indonesia yang baru saja dikumandangkan di berbagai kota di seluruh Indonesia, membuktikan bahwa FPPI sebagai organisasi masih tetap setia dan bersemangat menghimpun seluruh kadernya untuk merealisasikan cita-cita Nasional Demokrasi Kerakyatan.

Bukanlah tanpa alasan, FPPI hingga hari ini masih setia di jalan ekstraparlementer. Membumikan Nademkra adalah fase tahapan untuk menjawab kondisi negara hari ini yang masih terinfluence atas permainan elite politik kelompok yang terus mengabadikan oligarki politik dengan tanpa rakyat sebagai kepentingan utamanya

Fenomena people power pasca Pilpres 2014 juga menjadi bentuk sudah meleknya rakyat Indonesia mengikuti dan mengkritisi kondisi negara hari ini. Bahkan, meledaknya dunia cyber kaum muda dalam gerakan hashtag-nya cukup menjadikan dinamisnya kondisi negara. Arus informasi tiba-tiba menjadi sangat terbuka pasca 1998 dan menjadikan rakyat euphoria atas alur informasi. Sehingga, hal tersebut juga menjadi bisnis elite media untuk mengkonstruk masyarakat sedemikian rupa dengan berbagai kepentingan. Berawal dari hal tersebutlah kami rasa perlu untuk membaca situasi nasional yang terjadi di negara ini.

Sebagaimana kita ketahui Freeport beroperasi di Indonesia berdasarkan Kontrak Karya (KK) yang ditandatangani pada tahun 1967, pada awal periode pemerintahan Soeharto berdasarkan UU 11/1967 mengenai Penanaman Modal Asing (PMA). Berdasarkan KK ini, Freeport memperoleh konsesi penambangan di wilayah seluas 24,700 acres (atau seluas +/- 1,000 hektar. 1 Acres = 0.4047 Ha). Masa berlaku KK pertama ini adalah 30 tahun.  Kemudian pada tahun 1991, KK Freeport diperpanjang menjadi 30 tahun dengan opsi perpanjangan 2 kali per 10 tahun dan royalti yang di terima oleh indonesia untuk tembaga sebesar 1,5% dari harga jual (jika harga tembaga kurang dari US$ 0,9/Pound) sampai 3,5% dari harga jual (jika harga US$ 1,1/Pound) Sedangkan untuk emas dan perak sebesar 1% dari harga jual. Apa yang terjadi di Papua hari ini dapat di jadikan contoh atas penindasan yang dilakukan oleh penguasa modal asing seperrti yang kita ketahu bersama bahwa di daerah sulawesi barat 9 titik migas yang akan segera di kelola juga tambang uranium yang ada di kec.tapalang tidak menutup kemungkinan para elit-elit politik yang telah berselingkuh dengan penguasa modal melakukan hal yang sama,oleh sebab itu kami dari FRONT PERJUANGAN PEMUDA INDONESIA Menuntut kepada pemerintah RI untuk :.

1.Menolak Pengelolaan Tambang Uranium Yang Ada Di Tappalang
2.Menasionalisasi Aset PT.Freeport
3.Menolak Segala Bentuk Investasi Asing
4.Tinjau Ulang Peta HGU Perusahaan Sawit
5.Hapus Utang Lama Tolak Utang Baru
6.Pendidikan Murah
7.Tanah Untuk Rakyat
8. Naikkan Upah Buruh
9.Usir Perusahaan Asing Yang Ada Di Indonesia
10. Stop Kekerasan Aparat Terhadap Petani