Demokrasi, Politik dan Etika

By on Rabu, 3 Maret 2021


Oleh . Farkhan Evendi M.AP
(Ketua Umum Bintang Muda Indonesia)



Ukuran majunya nilai-nilai Demokrasi, salah satunya ditandai dengan bekerjanya mesin (fungsi) partai politik. Tentu di dalamnya juga mengikat dan terkait dengan para kader atau politisinya. Jika mesin partai bekerja sesuai dengan fungsi dan otoritasnya, maka bisa dipastikan kepentingan publik atau paling tidak kepentingan konstituennya semakin terpenuhi, itu artinya keterwakilan rakyat terakomodir sesuai dengan cita-citanya. Demokrasi sebagai alat dan kekuatan untuk mencapai tujuan. Namun jika sebaliknya maka sebagai alat, demokrasi sama sekali tidak menghantarkan publik kepada cita-cita yang diinginkan bersama.

Apa yang terjadi belakangan di Indonesia, khususnya yang menimpa Partai Demokrat (PD) belakangan ini, sesungguhnya bagian dari barometer ukuran demokrasi kita. Bagaimana tidak, upaya dan rencana pengambil-alihan paksa kepemimpinan PD yang sah justru dilakukan karena dorongan dari pihak eksternal yang notabene dekat dengan kekuasaan yang sedang berlangsung.

Pada kasus PD saat ini, tentu bukan perkara sulit untuk membuktikannya. Beberapa pristiwa sudah terungkap, para saksi, yang juga sekaligus pengurus DPC PD yang menghadiri pertemuan dengan orang eksternal tersebut menceritakan, jika mereka diberikan downpayment untuk mendorong tema Kongres Luar Biasa (KLB) ditubuh PD. Sementara Partai punya mekanisme demokratis yang diatur dalam AD/ART untuk berkontestasi duduk sebagai ketua umum partai.

Etika, sebagai prinsip dasar berpolitik jelas telah ditabrak dan dilabrak.
Meminjam dari Plato; Etika manusia senantiasa harus memiliki tujuan hidup yang baik berdasarkan rasio akalnya, dan mampu membedakan mana hal baik maupun buruk guna mencapai kebahagiaan yang didasarkan pada alam pikiran dan bukan mementingkan nafsu dan indrawi saja

Orang-orang yang hari ini nampak di ruang publik merongrong otoritas kepemimpinan yang sah dari Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) adalah broker politik yang biasa mentransaksikan politik untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Sementara segala cara dilakukan untuk mencapai itu.

Watak serta tabiat politisi model ini akan menambah daftar panjang pekerjaan rumah dalam konsolidasi untuk membangun demokrasi di Indonesia, yang sejak era Reformasi sudah dan sedang diupayakan untuk tumbuh. Mereka merendahkan ilmu pengetahuan politik, etika dan proses demokrasi yang sedang berlangsung.
Kita perlu waspada dengan politisi yang memiliki karakter seperti ini, selain telah memukul mundur proses demokrasi yang sedang berlangsung, tentu orang-orang ini bisa dipastikan akan menghianati cita-cita rakyatnya (konstituen). Di lain sisi juga bisa jadi orang-orang ini adalah faktor utama ketidakpercayaan _(distrust)_ publik pada partai politik.

Huntington, dalam bukunya _Political Order in Changing Societies_, menilai bahwa stagnansi bahkan kemunduruan politik yang terjadi di negara-negara berkembang disebabkan karena tidak adanya komunitas politik yang utuh dan pemerintahan yang matang. Keduanya menyebabkan instabilitas politik seperti huru-hara, kudeta, korup, adu-domba dan lain sebagainya,

Ia juga semacam menyimpulkan bahwa telah terjadi kemerosotan tertib politik dalam hal wewenang dan efektivitas serta legitimasi pemerintahan yang melemah. Ini berakibat juga pada moral warganegara dan lembaga politik yang semakin surut. Dalam bahasa yang _to the points_ ia ingin menyebut bahwa ada kemerosotan politik yang sedang terjadi di dunia saat
ini, yang salah satunya dimainkan oleh politisi-politisi seperti yang disebutkan di atas. **

Surabaya, 03 03 2021

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 × 3 =