SUKRI KRITIK PEMERINTAH SOAL ANGGARAN PILKADA

By on Rabu, 13 April 2016

MAMUJU KAREBA1-Sekretaris Komisi I DPRD Sulawesi Barat, Sukri Umar
mengkritisi kebijakan pemerintah yang menetapkan pelaksanaan
Pemilukada digelar secara serentak. Komentar pedas politisi Demokrat
itu diungkapkan saat ia dan rombongan kunjungan kerja Komisi I DPRD
Sulawesi Barat dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Sulawesi
Barat serta KPU Sulawesi Barat di gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU)
RI di Jakarta, kemarin.

Sukri dengan tegas mempertanyakan alasan efisiensi anggaran sebagai
salah satu pembenaran pelaksanaan Pemilukada serentak yang dimulai
sejak akhir 2015 yang lalu. Menurutnya, semangat efisiensi dan
efektifitas anggaran tersebut sama sekali tak tercermin pada gelaran
Pemilukada serentak yang rencananya bakal dilangsungkan pada Februari
2017 mendatang.

“Bagaimana pemerintah ini, katanya semangat efisiensi dan efektivitas
anggaran. Tapi, buktinya mana ?. Toh pelaksanaan Pemilukada serentak
itu berimplikasi biaya yang cukup mahal,” sebut Sukri.

Di hadapan Wakil Kepala Biro Keuangan, Sekjen KPU RI, Yayu Yuliani dan
sejumlah staf kesekjenan KPU RI, Sukri mengambil sampel Pemilukada
Sulawesi Barat sebagai contoh. Menurutnya, biaya pelaksanaan
Pemilukada di provinsi ke-33 itu sungguh-sungguh sangat mahal.

“Karena aturan mewajibkan Pemda untuk menyiapkan anggarannya, kita mau
dapat dimana uang sebanyak itu ?. Katanya supaya efektif dan efisien,
tapi toh nyatanya biaya Pilkada Sulbar nanti meningkat tiga kali lipat
dari biaya pelaksanaan Pilkada periode sebelumnya,” sambung Sukri,
masih dengan nada kesal.

Untuk diketahui, awalnya KPU Sulawesi Barat mengusulkan anggaran
sebesar Rp. 138 Milyar untuk pelaksanaan Pemilukada. Namun oleh DPRD
Sulawesi Barat dalam batang tubuh APBD Tahun 2016 menetapkan biaya
pelaksanaan Pemilukada sebesar Rp. 75 Milyar.

Seiring rasionalisasi anggaran yang dilakukan KPU, usulan anggaran
pelaksanaan Pemilukada kemudian naik di angka Rp. 118 Milyar. Hal itu
didasarkan pada meningkatkan sejumlah standar biaya pelaksana
Pemilukada yang tertuang dalam peraturan Menteri Keuangan.
Sukri 'Ngamuk' di KPU RI
Rp. 118 Milyar tersebut nyatanya hanya disepakati pemerintah Provinsi
Sulawesi Barat sebersar Rp. 85 Milyar setelah memperhatikan kondisi
keuangan daerah. Namun, rapat antara Komisi I DPRD Sulawesi Barat
bersama TAPD menyepakati anggaran pelaksanaan Pemilukada sebesar Rp.
90 Milyar.

Sementara itu, Yayu Yuliani mengungkap dua faktor utama yang
mengakibatkan anggaran pelaksanaan Pemilukada serentak tersebut
menjadi membengkak. Yang pertama, menurutnya adalah regulasi yang
ditetapkan pemerintah soal pengadaan Alat Peraga Kampanye (APK) bagi
pasangan calon yang harus disiapkan oleh pihak KPU.

“Kemudian yang kedua, dalam menentukan detail anggaran di setiap item
penganggaran Pilkada itu kami menggunakan standar yang tertinggi dari
apa yang telah ditentukan oleh mekanisme penganggaran yang diatur
sesuai dengan sistem pembiayaan APBN,” jelas Yayu.

Meski begitu, Yayu memberi pertimbangan kepada penyelenggara
Pemilukada di daerah untuk menyesuaikan standar biaya pelaksanaan
Pemilukada dengan kondisi ril yang ada di masing-masing daerah.

“Itu kan masih ada ruang negosiasi. Maksud kami, nanti terserah TAPD
dan KPU-nya saja dalam menentukan satuan biaya yang ditetapkan. Kalau
misalnya di daerahnya cukup dengan harga di bawah standar tertinggi
yang kami maksud tadi, saya kira itu bisa diminimalisir,” sambungnya.

Di tempat yang sama, Komisioner KPU Sulawesi Barat, Nurdin Passokkori
mengungkap alasan lain yang menyebabkan membengkaknya biaya
pelaksanaan Pemiulukada di Sulawesi Barat. Ia menyebut, Pemilukada
Sulawesi Barat adalah satu-satunya Pemilukada yang digelar tunggal,
tanpa menggandeng pelaksanan Pemilukada di kabupaten yang ada di
Provinsi ini.

“Jadi, murni pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah provinsi. Tidak
ada sharing pembiayaan dengan pemerintah kabupaten karena hanya
Pilkada di Sulbar ini yang digelar tanpa menggandeng pelaksanaan
Pilkada di tingkat kabupaten,” sumbang Nurdin.

“Selain itu, standar tinggi yang kami gunakan dalam menganggarkan
pelaksanaan Pilkada tersebut murni berangkat dari suara hati para
penyelenggara Pilkada di lapangan. Mereka yang bekerja dengan tanggung
jawab serta beban kerja yang cukup tinggi, namun selama ini hanya
diberi honor yang menurut mereka tak sesuai dengan beban dan tanggung
jawab kerja itu. Makanya, ini salah satu pertimbangan kami,” tutup
Nurdin Passokkori. (*)