Potret Alam Pulau Karampuang Mamuju

By on Jumat, 7 Agustus 2015

MAMUJU KAREBA1.com. Sebuah pulau di dekat Mamuju, Sulawesi Barat menyimpan keindahan alam dan kehidupan yang belum banyak diketahui. Inilah Karampuang, pulau sederhana dengan alam nan memesona dan kehidupan yang indah.

Mengunjungi Karampuang merupakan salah satu pesona wisata tersendiri. Pulau seluas 6,21 km persegi ini selain menyimpan keindahan alam yang masih perawan dan memiliki aneka mitos.

Perahu dengan panjang 10 meter dan lebar 1,5 meter itu meninggalkan Pelabuhan Mamuju sekitar pukul 16.32 WIT. Di perahu yang beratap terpal itu terdapat 20 penumpang. Mereka kembali ke Pulau Karampuang setelah belanja atau melakukan aktivitas lainnya di Kota Mamuju. Sebagai sebuah pulau yang terpisah dari Kabupaten Mamuju, sejauh 3 km, transportasi laut dengan menggunakan perahu merupakan satu-satunya jalan yang harus dilalui.

Pulau Karampuang secara administrasi berada di bawah Desa Karampuang, Kecamatan Mamuju, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Meski sebagai pulau terpisah namun aktivitas dari Pulau Karampuang ke Mamuju dan sebaliknya berdenyut dari pukul 05.00 hingga 18.00.

Denyut aktivitas terjadi sebab jarak antar kedua pulau itu tidak jauh sehingga kapal yang penulis tumpangi tadi tiba di Karampuang pukul 16.53. Sekitar 19 menit. Kalau ombak tenang laju perahu bisa menjadi lebih cepat.

Perahu yang penulis tumpangi tiba di Pelabuhan Karampuang I. Pelabuhan itu adalah 1 dari 6 titik masuk ke Karampuang. Karampuang I merupakan pintu masuk teramai selain Pelabuhan Ujung Bulo.

Mengunjungi Karampuang merupakan salah satu pesona wisata tersendiri. Pulau seluas 6,21 km persegi ini selain menyimpan keindahan alam yang masih perawan dan memiliki aneka mitos.

Karampuang yang berasal dari bahasa Mamuju kalau diartikan dalam bahasa Indonesia artinya rembulan atau bulan purnama. Sebenarnya nama asli pulau itu adalah Pulau Liutang namun seorang biduan dari Mamuju, Andi Maksum, memuji keindahan pulau itu ibarat rembulan dalam sebuah lagu yang berjudul Karampuang. Maka akhirnya nama ini yang lebih populer untuk menyebut nama pulau itu dibanding dengan nama aslinya.

Ada versi lain dalam soal nama Karampuang. Konon pulau itu menjadi tempat persembunyian para raja dari kejaran tentara Belanda, di masa kolonialisme. Persembunyian dinamakan karampuang sebab kata itu disusun dari Kara artinya karang, batu, atau pulau; dan Puang artinya bangsawan, ningrat, raja (maradika). Dari gabungan dua kata itu membentuk sebuah arti pulau para raja atau pulau para bangsawan. Bahasa itu berasal dari bahasa suku di Sulawesi seperti Bugis, Makassar, dan Toraja.

Apapun nama dan bagaimana asal-usulnya yang jelas bila kita singgah di pulau yang dihuni mayoritas etnis Suku Mamuju itu kita akan takjub. Sebagai wilayah di daerah Indonesia bagian timur yang sering dikonotasikan dengan daerah tertinggal maka pulau ini juga masih minim fasilitas yang ada. Namun dari sinilah petualangan di pulau ini menjadi sangat menarik dan alami.

Di pulau yang terdiri dari 7 dusun itu belum ada homestay, losmen, bahkan hotel. Bila wisatawan ingin berlama di Karampuang ia bisa tinggal di rumah-rumah penduduk. Meski kita bisa tinggal di rumah penduduk namun jangan ditanya soal ketersediaan listrik dan air bersih yang memadai. Di pulau yang dihuni oleh 3.327 jiwa ini listrik yang disuplai dari PLN belum ada. Masyarakat masih mengandalkan suplai listrik dari mesin berbahan solar yang mereka kelola sendiri. Masing-masing dusun memiliki mesin pembangkit listrik secara swadaya.

Kapasitas listrik yang terbatas membuat suplai listrik dari pembangkit hanya bisa disediakan dari pukul 18.00 hingga 22.00. Pengalaman penulis saat tinggal di rumah Kepala Desa Karampuang, ketika anaknya asyik menonton sebuah kontes musik dangdut di salah satu stasiun televisi, tiba-tiba listrik mati.

Bila di Jakarta ketika listrik mati, pasti orang mengumpat, namun di sana tidak sebab mereka maklum jam waktu suplai sudah berakhir pada malam itu. Kondisi yang demikian juga tidak disadari penulis meski sebelumnya diingatkan akan durasi suplai listrik.

Penulis secara tidak sadar ingin membeli soft drink dingin namun diingatkan oleh seorang penduduk bahwa di sini tidak ada soft drink dingin sebab listrik tak kuat mensuplai kulkas. Jadi di atas jam 22.00, pulau itu gelap gulita.

Cahaya yang ada bisa jadi datang dari rembulan atau gemerlap lampu dari Kota Mamuju. Di tengah kegelapan yang mendekam itulah pengalaman sangat romantis dan syahdu bila kita duduk di pinggir pantai ketika diterangi oleh purnama.

Tak hanya listrik yang menjadi masalah di pulau. Masalah air pun demikian. Saat ini masyarakat menggantungkan air tawar dari sumber-sumber mata air yang ada. Salah satu sumber mata air itu adalah mata air 3 Rasa. Sumber mata air ini tak sekadar dijadikan air kehidupan oleh masyarakat namun juga menjadi tempat wisata andalan.

Seperti nama Karampuang cerita mata air 3 Rasa itu juga banyak versi. Ada mitos yang menceritakan ada leluhur orang Karampuang melihat ada mata air yang jernih. Oleh leluhur mata air itu dipisahkan menjadi 3 bagian. Pemisahan 3 bagian itu menyebabkan rasanya juga menjadi tiga, tawar, payau, dan asin.

Bagi masyarakat sekitar pada masa itu, keberadaan sumber air 3 Rasa bisa jadi hanya sebatas itu namun suatu ketika ada seorang yang datang dari Makassar mengambil air dari tempat itu dan anehnya setelah menggunakan air itu ia mendapat jodoh. Cerita yang demikian tersebar ke mana-mana sehingga mata air 3 Rasa itu juga dinamakan Sumur Jodoh.

Cerita yang demikian rupanya juga diyakini oleh penduduk setempat. Di saat bulan purnama, gadis-gadis Karampuang menumbuk tepung untuk dijadikan bedak. Bedak itu ditaburkan di muka setelah sebelumnya dibasuh dengan air dari Sumur Jodoh.

Para gadis melakukan demikian agar parasnya cantik, muncul aura dari dalam tubuh, jalannya gemulai, dan mempunyai sifat lembut seperti air. Mujarabnya air dipercayai tidak hanya sebatas itu konon katanya air itu bisa digunakan sebagai pengobatan alternatif.

Kalau ada orang yang tak percaya dengan khasiat Sumur Jodoh itu boleh-boleh saja. Namun menurut pengakuan salah seorang penduduk, jangan mengumpat atau berkata jorok di tempat itu. Pernah ada seorang yang mengumpat di sekitar sumur itu. Tak lama kemudian ia kesurupan.

Ketika penulis mendatangi Sumur Jodoh atau mata air 3 Rasa, nampak para gadis dan kaum ibu serta anak-anak menggunakan air itu untuk mandi. Sumur Jodoh itu sepertinya akan menjadi kenangan dan tempat cerita ketika air dari PDAM masuk ke pulau itu.

Tanda-tanda air dari PDAM masuk ke pulau itu sudah ada, infrastruktur pipa dan penampungan sudah dibangun. Menurut salah seorang penduduk, selepas Pemilu, air dari PDAM sudah beroperasi masuk ke rumah-rumah penduduk.

Dalam soal upacara tradisi leluhur, setiap bulan delapan para penduduk membuat sesajen untuk selametan. Dalam tradisi yang disebut Poalibe Angangatane itu masyarakat membuat sesaji yang terdiri dari berbagai makanan dari hasil bumi itu setelah didoakan tetua kampung dibawa ke laut dan kemudian dilarung. Kepercayaan yang demikian diyakini sebagai doa dan tolak bala. Melarung ke laut sebagai simbol membuang penyakit dan berdoa agar mendapat rejeki yang melimpah dan kesehatan jasmani dan rohani.

Sebagai pulau yang terpisah dan luasnya tanggung, kecil tidak besar juga tidak, di pulau ini transportasi darat hanya sepeda motor dan jumlahnya sangat sedikit. Antardusun disambung dengan jalan selebar 1 hingga 3 meter yang disemen. Dengan jalan itulah wisatawan bisa menjelajah luas pulau. Rupa bumi di pulau itu adalah pegunungan sehingga jalan antardusun naik turun. Sehingga bila hiking atau trekking diperlukan tenaga yang besar bila tidak mau ngos-ngosan.

Menjelajah pulau itu bisa dilalui dengan sepeda motor bisa pulau dengan jalan kaki. Apapun sarana dan caranya bila kita melintasi jalan-jalan yang ada, di kanan-kiri masih di dominasi oleh rimbunnya pepohonan. Pohon kelapa, bambu, pohon berbatang besar dan berakar kuat yang tumbuh di pulau itu menambah eksoktik Karampuang. Menurut Kepala Desa, pulau itu dulu disarankan ditanami pohon kelapa saja sehingga namanya Pulau Kelapa.

Bagi penggemar skin diving (selam dangkal) dan snorkeling (selam permukaan), Karampuang memang tempat yang cocok untuk menyalurkan hobi itu. Tempatnya di Paniki atau di samping kanan dan kiri Pelabuhan Ujung Bulo. Di samping kanan dan kiri Ujung Bulo sepertinya lebih enak sebab pelabuhan ini langsung memiliki akses ke Pelabuhan Mamuju.

Ujung Bulo bisa ditempuh lewat Karampuang I dengan menggunakan sepeda motor. Menggunakan sepeda motor waktu tempuhnya sekitar 15 menit. Jalan selebar 1 hingga 3 meter, ada yang sudah disemen, batako, ada pula yang berupa tanah, naik turun, berkelok, dan kanan-kiri masih banyak pepohonan menjadi petualang sendiri bagi wisatawan.

Pelabuhan Ujung Bulo merupakan landmark dari Karampuang. Pelabuhan berupa dermaga yang terbuat dari kayu itu memiliki panjang 200 meter menjorok ke laut, lebar 1,5 meter serta beratap kalisi (anyaman bambu). Wisatawan yang berada di dermaga ini bisa menikmati beningnya air laut Karampuang dan indahnya Laut Mamuju. Di samping kanan dermaga terdapat beberapa kapal wisata yang ditambatkan yang siap melayani wisatawan keliling pulau.

Sebagai sebuah wilayah yang tersendiri, kecuali ikan, seluruh kebutuhan hidup bahkan guru SD dan SMP didatangkan dari Mamuju. Suatu pagi ketika penulis hendak meninggalkan pulau itu, melihat kedatangan perahu di mana di antara penumpang yang ada adalah para guru. Mereka setiap hari, pergi dan pulang, untuk mencerdaskan anak-anak Karampuang