Merdeka

By on Minggu, 23 Agustus 2015

SATU hari di tahun 2010, sebuah mobil mewah hadir dan terparkir anggun di pelataran istana. Sebuah Rolls-Royce berpelat nomor 234. Tak perlu berpikir terlalu jauh, mobil itu milik pengusaha rokok terkenal di Indonesia, Sampoerna – salah satu kemasan rokok bikinannya bernomor 234, Djie Sam Soe.

Wartawan istana Wisnu Nugroho menuliskan kesaksiannya itu dalam buku Pak Beye dan Istananya. Lalu ia menyindir dengan telak: Rolls-Royce itulah salah satu sumbangan para perokok Indonesia untuk sang pengusaha yang kini bertamu ke presiden.

Belakangan, cerita tentang Rolls-Royce itu diungkap oleh dokter senior Kartono Muhammad yang ia kaitkan dengan strategi industri rokok internasional. Ketika ruang penjualan perusahaan rokok di negara-negara maju kian sempit, di Indonesia mereka malah berjaya dengan segala cara.

Beberapa tahun silam, Undang-Undang Kesehatan yang disepakati di sidang paripurna DPR menyatakan nikotin sebagai zat adiktif. Tapi jelang diundangkan — sim-salabim — ayat itu menghilang di ruang sekretariat komisi di DPR, tapi ketahuan. Geger yang tiada dampaknya. Dan para pemilik perusahaan rokok masih leluasa pula wara-wiri dengan Rolls-Royce. Semakin hari semakin kaya, dan semakin waspada.

Kini, di Jakarta dan banyak kota, gerakan untuk membatasi ruang gerak para perokok kian gencar. Para penghisap tembakau tak lagi leluasa menghembus-hembuskan asap di gedung-gedung perkantoran, pusat-pusat perbelanjaan, di sarana-sarana dan angkutan umum.

Berpuluh tahun lamanya, Indonesia adalah ladang yang subur bagi perusahaan asuransi. Aneka perusahaan asuransi milik pengusaha asing menangguk untung tak alang-kepalang di sini. Dari premi bulanan ratusan juta orang itu, kita kemudian disuguhi iklan-iklan ukuran besar dan mahal di koran-koran tentang para agen asuransi yang berwisata ke luar negeri, memperoleh hadiah mobil dan rumah mewah untuk pencapaian mereka menggaet nasabah, tentu dengan gelar-gelar mentereng dan janji-janji melenakan untuk para agen baru.

Sejak 1 Januari 2014, hadir Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang diwajibkan untuk seluruh warga Indonesia dari Aceh hingga Papua. Pesertanya di tahun 2015 telah mencakup hampir 170 juta orang.

Tentang BPJS ini, begitu banyak cerita suka-cita dari mereka yang terlayani, tentang dokter-dokter yang harus berhemat dengan obat generik demi biaya yang masuk dalam rentang tanggungan BPJS.

Berpuluh tahun lamanya, saban malam di perairan Arafura, sekitar Papua, adalah kerlip lampu yang ramai dari kapal-kapal penangkap ikan milik perusahaan asing yang berpesta memanen ikan di lautan Indonesia.

Nelayan-nelayan bermodal sampan dan perahu layar kecil hanya bisa memandang dari kejauhan dan cukup mensyukuri tangkapan dari ikan-ikan yang tak terjangkau pukat kapal-kapal asing itu. Dari perairan negerinya yang terjaga, kapal-kapal Thailand, Myanmar, China, Malaysia dan lain-lain, leluasa menjaring ikan di laut Indonesia tanpa kuatir akan didepak para penjaga lautan.

Kini, perairan Arafura sepi di malam hari, ikan-ikan melimpah, dan para nelayan negerilah yang berpesta. Kapal-kapal ikan asing yang tertangkap patroli maritim terancam ditenggelamkan, awaknya dipenjarakan.

Lebih 150 tahun lalu, semenjak tahun 1864, jaringan rel kereta api telah dibangun di Semarang — wilayah yang kini bernama Indonesia. Tapi ketika hampir setiap kota di Eropa, Amerika, Cina, Jepang, bahkan negara-negara tetangga telah terjangkau puluhan ribu kilometer jaringan rel kereta modern, sebagian di bawah tanah dan di balik dasar lautan, kereta api di Indonesia tetap seperti dulu: tua, reot, lamban dan hanya di sepanjang Jawa dan sebagian Sumatera. Panjang rel di negeri besar dengan 17.000 pulau ini belum sampai 7.000 kilometer.

Ketika jalan tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) diresmikan di tahun 1978, Malaysia dan Cina belum punya jalan tol. Hampir empat puluh tahun kemudian, kini, panjang jalan tol di Indonesia 918 kilometer, sementara Cina sudah membangun hampir 80.000 kilometer jalan tol di seantero negerinya dan Malaysia punya 4.000 kilometer.

Berpuluh tahun lamanya jaringan transportasi massal tak terurus dengan benar, kota-kota di Indonesia kian macet dan sesak oleh mobil dan sepeda motor pribadi bikinan Jepang, Korea, Jerman dan Amerika.

Kini, Indonesia tengah mengejar ketertinggalannya dengan membangun jaringan rel kereta api dan jalan-jalan tol yang panjang dan lebar di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua.

Oh ya, pada peringatan hari kemerdekaan tahun 2015 ini, 47 pulau terluar negeri ini, pulau-pulau yang hanya sepelangkahan ke negara asing, akan menikmati benderang lampu listrik. Mereka tak lagi menonton dalam gelap kerlip lampu merkuri desa seberang berbendera negeri jiran.

Kita hidup di negeri yang besar dan berdaulat. Dan kita punya harapan bahwa negeri ini telah berjalan di atas relnya yang benar.

Mari, kita tebar optimisme untuk Indonesia yang besar, jaya dan digdaya! Ingat Bung Hatta, salah satu manusia terbaik yang dilahirkan di negeri ini? Ketika diadili di Den Haag, Belanda karena kegiatannya yang senantiasa mengusung kejayaan Indonesia, majelis hakim bertanya kepadanya: “Apakah kalian mampu mengurus negara Indonesia yang merdeka?”

Dengan nada yang dingin Hatta menjawab: ”Kalaupun tak mampu, itu bukan urusan Anda. Kami lebih suka melihat Nusantara musnah di bawah lautan daripada menjadi embel-embel Hindia Belanda.”

Dirgahayu Republik Indonesia!

Penulis: Tomi Lebang