Jejak

By on Minggu, 9 Agustus 2015

KITA yang ada hari ini tentu punya orang tua; Ayah dan Ibu yang lahir dari Nenek dan Kakek. Bagi yang orang tuanya masih hidup dan saat ini masih bisa bersama-sama melakukan banyak aktivitas di dalam dan di luar rumah, bersyukurlah. Tetapi banyak di antara kita, termasuk saya sendiri yang kedua orang tuanya telah tiada.  Yang lain mungkin ada yang kedua orang tuanya telah berpuluh tahun lamanya dipanggil menghadap yang kuasa.

Dan kadang-kadang mungkin karena ditengah-tengah kesibukan kerja, kita sering lupa bahwa mereka pernah ada dan kini telah tiada. Sehingga jangankan untuk mengenang masa-masa kecil ketika masih bersama misalnya di saat suasana lebaran, bahkan mungkin ada di antara kita yang tidak lagi pernah berdoa untuk kedua orang tuanya dalam shalat karena menganggap aktivitas itu terlalu meyita waktu yang banyak; yaitu waktu untuk berdoa dan mungkin juga waktu untuk shalat.

Mungkin juga ada diantara kita yang sesekali ingat saja. Yaitu hanya ketika menjelang Ramdhan atau hari raya lebaran saja karena merupakan saat untuk datang ramai-ramai beziarah dan membacakan do’a.

Beruntung bagi yang telah di alam kubur tetapi sempat meninggalkan sesuatu yang membuat keturunannya yang masih hidup, selalu bisa mengenang, bahkan menyelami pemikirannya, memanfaatkan dan menikmati hasil karyanya, berziarah ke makamnya dan mendoakannya.

Mereka itu adalah para ulama, para tokoh pejuang di segala bidang kehidupan, para ilmuwan, para peneliti dan para penemu ilmu yang kemudian mencatatkan ilmunya untuk diwariskan kepada penduduk dunia.

Mereke memang telah tiada tetapi  mereka meninggalkan jejak berupa pengetahuan yang tetap dipergunakan dan bermanfaat untuk banyak orang. Sehingga boleh saja puluhan atau bahkan telah ratusan tahun berkalang tanah, tetapi mereka layaknya masih tetap hidup karena selalu dikenang dan dijadikan rujukan.

Dan jauh lebih penting dari jejak di dunia berupa hasil pemikiran, gagasan dan kreativitas orang yang telah berpulang itu adalah, baginya akan tetap mengalir pahala tak berkesudahan sepanjang karya itu tetap masih dipergunakan. Yaitu pahala sebagai amal jariyah, pahala ilmu yang bermanfaat, dan karenanya kemudian ada banyak pahala do’a dari anak-anak saleh yang akan selalu mendoakan.

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Tapi berapa banyak di antara orang tua, saudara dan kerabat kita yang telah tiada, tetapi jangankan orang yang masih hidup dapat mengingat karena ada sesuatu yang mereka
tinggalakan, bahkan nama mereka
pun mungkin telah lupa disertakan
dalam  bait-bait doa anak, para cucu kerabat dan lebih-lebih orang lain yang masih hidup.

Mungkin kemudian ada di antara anak atau cucunya yang suatu waktu mencoba dan berusaha mengingat-ingat seperti apa wajah Kakek dan Neneknya, atau mungkin Ayah dan Ibunya. Lalu ingin mengetahui apa yang dahulu sering mereka nasehatkan. Bagaimana ia berbicara dan memberi nasehat. Celakanya, jangankan catatan, foto hitam putih yang menggambarkan sosok orang tua itu pun tidak ada. Atau mungkin pernah ada tetapi telah hilang.

Lalu mungkin pergi dan bertanyalah si anak kepada seorang yang pernah menyaksikan Kakek-Nenek atau Ayah Ibunya di masa hidup. Tapi yang ditanya sudah pikun dan sudah tidak jelas bicara karena menderita penyakit stroke. Saat seperti itu, ingin rasanya si anak terbang ke masa lalu.

Lalu bagaimana dengan kita yang hari ini masih diberi kesempatan menghirup udara?

Apakah kita telah mempersiapkan diri dan melakukan sesuatu atau mungkin banyak hal sehingga kita termasuk dalam kelompok orang-orang yang nanti setelah menghadap Tuhan tetap bisa dikenang dan tentu saja dengan
bangga akan selalu didoakan oleh
tidak hanya anak cucu tetapi juga oleh orang lain karena kita meninggalkan jejak yang tetap bisa dirasakan manfaatnya oleh mereka yang hidup di dunia.

Ataukah kita akan dengan berat hati harus menjadi bagian dari kelompok orang-orang yang dilupakan. Bahkan dalam bait-bait doa anak-cucu, sanak- saudara dan kerabat sendiri nama kita pun tak lagi disebut?

Yang pasti kita semua yang masih hidup ini dan masih bisa berbuat sesuatu, pada akhirnya suatu saat, juga akan bertemu dengan yang bernama ajal. Entah kerabat kita akan bisa menguburkan kita disebuah lubang yang pada akhirnya akan ditandai dengan nisan. Atau boleh jadi jasad kita tidak berhasil ditemukan misalnya karena suatu peristiwa kecelakaan pesawat terbang.

Bersyukurlah jaman ini ada begitu banyak fasilitas dan tegnologi yang memberi banyak kemudahan untuk mendokumentasikan walau sedikit dari buah pemikiran, gagasan, dan karya-karya yang bisa diharap akan bermanfaat untuk diri sendiri atau kalau bisa mungkin orang lain.

Sebutlah misalnya alat elektronik, seperti kamera foto, alat perekam dan tentunya HP canggih yang bahkan saat ini didalamnya ada banyak fasilitas komunikasi yang tersedia termasuk askes media sosial sperti facebook, twitter dan lain-lain.

Yang dengan fasilitas itu, bisa jadi sahabat kita, saudara kita, orang tua kita, atau pasangan kita telah menghadap Allah beberapa tahun lalu, tetapi hari ini kita masih bisa melihat fotonya, videonya dan membaca pemikiran dan gagasannya yang menggugah dan bernilai positif lewat tulisan ringan di status facebook.

Lalu bagaimana dengan mereka yang hanya menyesaki dinding akun facebooknya hanya dengan tulisan satatus ungkapan perasaan galau atau umpatan bahkan mungkin caci maki yang dicari dengan cara bagaimana dan dari sudut pandang apapun tidak bisa ditemukan sedikitpun pesan yang bisa memberi sedikitpun nilai positif?

Mungkin dengan mengumpat dan caci maki nilai positifnya adalah bisa melepaskan kejengkelan dan beban perasaan setelah dibuat kesal dan marah. Tetapi apakah kemarahan itu yang ingin kita wariskan?

Yang pasti setiap orang dilahirkan memiliki potensi dan kemampuan masing-masing, sekecil apa pun itu. Bahkan kata Allah SWT, kita manusia diciptakan sempurna, sebaik-baiknya dan luar biasa.

“Sungguh, Kami telah men-ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baik-nya.” (At-Tin: 4).

Akan tetapi karena kelalaian, semua potensi yang diberikan Allah itu, tidak dapat secara maksimal difungsikan karena sering dianggap sepele dan kemudian lebih banyak dari kita yang membiarkannya terabaikan.

Padahal menyia-nyiakan pemberian adalah perbuatan tercela. Tidak memanfaatkan dengan baik amanah yang diberikan Allah adalah salah satu bentuk kekufuran.

Dan bentuk mensyukuri nikmat pemberian Allah SWT berupa potensi diri adalah dengan memanfaatkannya secara maksimal sesuai dengan ketentuan yang disyariatkan.

Oleh sebab itu, selagi masih diberi kesempatan oleh Allah SWT, mari lakukan sekecil apapun sesuatu dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun bentuknya hanya mampu berupa tulisan status facebook, akan tetapi bisa memberi pesan dan inspirasi nilai kebaikan bagi diri terutama dan sedapat mungkin juga bagi orang lain.

Sehingga sekalipun kita tidak mampu menjadi seperti ulama atau tokoh
pejuang, peneliti dan ilmuwan yang bisa mewariskan ilmu pengetahuan dan karya besar yang dikenang sepanjang masa, kita juga tetap ada harapan akan meninggalkan sedikit jejak yang lebih baik dari pada hanya sekedar umpatan dan caci maki.

Wallahu a’lam..

Penulis : Gufran Padjalai

Gufran Padjalai

Gufran Padjalai