Warga di Jalur Mamuju-Aralle, Turun-temurun Sudah Mengenal Model Kantin Kejujuran

By on Sabtu, 26 September 2015

Lapak kantin kejujuran berada di mamasa aralle tampak tidak ada penjagaan.

Lapak kantin kejujuran berada di mamasa aralle tampak tidak ada penjagaan.

MAMUJU KAREBA1-Jika beberapa waktu terakhir pemerintah terus melakukan berbagai terobosan untuk meningkatkan kualitas akhlak masyarakat sebagai upaya memerangi tindak pidana korupsi, yang salah satunya dengan membuat kantin kejujuran, ternyata masyarakat pegunungan di jalur Mamuju – Aralle Kabupaten Mamasa, sejak zaman nenek moyang mereka dahulu sampai sekarang, sudah mempraktekkan model kantin kejujuran ini dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Jika di kota-kota, kantin kejujuran dibuat dalam rangka memberikan pendidikan kejujuran kepada anak-anak sekolah, mahasiswa atau pegawai kantoran untuk pembelajaran antikorupsi, maka di jalur Mamuju – Aralle Kabupaten Mamasa ini, warga menggunakan model kantin kejujuran sebagai sebuah kebiasaan yang telah mengakar secara turun-temurun.

Cara yang sama dengan prinsip yang digunakan dalam mengelola kantin kejujuran, diterapkan warga di wilayah ini untuk berjualan hasil bumi dan buah-buahan seperti talas, singkong, pisang, pepaya serta hasil kerajinan seperti, keranjang rotan, bakul, caping, tampah atau nyiru dan lain-lain

Cara warga berjualan seperti ini, sangat mengutamakan kejujuran si pembeli. Sebab barang dagangan diletakkan begitu saja dalam sebuah tempat yang disediakan khusus tanpa seorang penjaga.

Tempat berjualan yang dibangun di pinggir jalan ini, hanya menyediakan barang dagangan disertai keterangan harga yang ditulis seadanya dan sebuah wadah yang biasanya dari kaleng atau potongan bambu untuk tempat menaruh uang bagi si pembeli.

Cara berjualan seperti ini masih terus dilakukan warga sampai saat ini. Sabtu (26/9/2015), dalam perjalanan dari Aralle ke Mamuju, penulis masih menyaksikan sejumlah bangunan kecil di pinggir jalan yang di atasnya ditaruh berbagi jenis barang dengan harganya masing-masing. Juga disediakan potongan bambu dan atau kaleng untuk menyimpan uang bagi para pembeli.

Beberapa di antara tempat berjualan itu berada di pinggir jalan jauh dari pemukiman. Ada yang di bawah pohon, di antara semak-semak tempat pengguna jalan sering mengaso dan juga ada yang ditempatkan di dekat anak sungai yang airnya mengalir jernih.

Ada juga yang berada tidak jauh dari rumah penduduk, tetapi suasana kampung tampak lengang. Jualan tersebut tetap tidak dijaga.

Salah seorang warga yang sempat penulis tanyai mengatakan, warga di wilayah tersebut pada siang hari, pada umumnya sibuk beraktivitas di kebun dan sawah, namun mereka tetap bisa berjualan dengan mengandalkan kejujuran pembeli.

Tetapi lelaki setengah baya yang mengaku kebetulan lebih awal pulang dari kebunnya tersebut mengatakan, sejak jalan yang dahulunya hanya setapak dan hanya bisa dilalui pejalan kaki dengan alat angkutan kuda ini dibuka dan bisa diakses kendaraan bermotor, sering dagangan warga diambil begitu saja tanpa ada uang yang ditaruh sesuai harga.

“Sekarang kan sudah bukan orang kita saja yang lewat di tempat ini. Setiap hari banyak pengendara yang lewat. Sudah sering ada dangangan hilang, bahkan uangnya juga. Kita tidak menuduh orang luar, tapi sekarang sudah beda sejak jalan jadi ramai,” katanya dengan raut wajah agak sedih.

Penulis: Muh Gufran Padjalai